JAKARTA, JPI – Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Junaidi Abdillah, menyampaikan bahwa hingga kini pelaksanaan Program 3 Juta Rumah masih belum memiliki arah yang jelas. Menurutnya, meskipun program ini telah digaungkan hampir setengah tahun, Apersi masih menantikan kejelasan dalam bentuk blueprint resmi dari Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP).
“Kami terus mendukung program ini, tapi hingga saat ini belum ada panduan yang bisa menjadi acuan di lapangan. Blueprint sangat penting agar pelaksanaannya tidak berjalan tanpa arah,” kata Junaidi saat membuka acara Silaturahmi Nasional (Silatnas) Apersi di Jakarta, Senin (21/4).
Ia mengingatkan bahwa keberhasilan program ini tidak hanya bergantung pada niat baik di tingkat pusat, tapi juga pada kesiapan teknis dan kolaborasi di lapangan. “Program ini bagus, tapi kalau tidak bisa dijalankan dengan baik, sayang sekali. Blueprint itu fondasi,” tambahnya.
Silatnas Bahas Tantangan Industri Properti
Silatnas Apersi kali ini menjadi ajang strategis untuk menghimpun masukan dari para pemangku kepentingan terkait dinamika dan tantangan di sektor properti. Apersi berharap diskusi-diskusi tersebut bisa memperkuat sinergi untuk mewujudkan target pembangunan 3 juta rumah.
“Diskusi ini bukan hanya soal target angka, tapi juga bagaimana kolaborasi antar stakeholder bisa terjalin, terutama dalam menyediakan data faktual dan mendukung kebijakan teknis,” jelas Junaidi.
Usulan Revisi Harga dan Kuota Rumah Subsidi
Dalam kesempatan yang sama, Apersi juga mengusulkan agar batas harga rumah subsidi dinaikkan menjadi Rp 250 juta. Hal ini didasarkan pada kondisi lapangan yang menunjukkan sulitnya mendapatkan rumah terjangkau di lokasi yang dekat pusat kota.
“Kalau rumah murah lokasinya terlalu jauh, masyarakat dengan penghasilan Rp 6 juta tentu kesulitan menjangkaunya. Kami usulkan agar harga disesuaikan dan mekanisme pasar ikut mengatur,” ujarnya.
Selain harga, Junaidi juga mendorong penyesuaian kuota rumah subsidi bagi kelompok berpenghasilan menengah. Ia menyarankan agar 30 persen kuota rumah subsidi bisa dialokasikan bagi individu lajang dengan penghasilan hingga Rp 12 juta, dan keluarga dengan penghasilan hingga Rp 14 juta.
“Kami ingin subsidi tetap tepat sasaran. Jangan sampai justru masyarakat berpenghasilan rendah kalah bersaing mendapatkan rumah bersubsidi,” tegasnya.
Sebagai catatan, kebijakan terbaru memang telah menaikkan batas penghasilan penerima subsidi di wilayah Jabodetabek menjadi Rp 12 juta untuk individu dan Rp 14 juta untuk keluarga. Namun, Junaidi menekankan pentingnya proporsi kuota agar subsidi tidak terserap mayoritas oleh kelompok menengah ke atas.