Oleh: Muhammad Joni, S.H., M.H. – Advokat, Sekretaris Majelis Pakar The HUD Institute
(Tulisan ini adalah pendapat pribadi)
Langit kota Indonesia kini tidak hanya diterangi bintang atau kilatan ambisi metropolitan, tapi juga guyuran dana Rp40 triliun dari Qatar. Dana itu, dalam tahap awalnya saja, ditujukan untuk membangun 50.000 unit hunian vertikal bagi rakyat berpenghasilan rendah. Namun di balik optimisme itu, satu pertanyaan utama mengemuka: Untuk siapa rumah-rumah ini dibangun?
Apakah benar untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)? Ataukah ini proyek bauran, yang membuka peluang komersialisasi melalui celah kepemilikan, spekulasi tanah, atau dominasi developer besar?
Qatar datang bukan sendiri. Mereka menggandeng mitra domestik dan asing—BTN, Kementerian PKP, Danantara, hingga CCCC Indonesia. Tapi di mana posisi pengembang lokal yang selama ini menjadi tulang punggung pembangunan rumah subsidi? Jika mereka terpinggirkan, akankah proyek ini kehilangan jiwanya sebagai kebijakan perumahan pro-rakyat?
Tanah Publik Bukan Komoditas Privat
Jika proyek ini berdiri di atas lahan milik negara atau BUMN, maka etika dan hukum wajib ditegakkan. Tanah publik tidak boleh berubah menjadi portofolio privat dengan dalih investasi asing. Tidak bisa dibenarkan jika hunian MBR dibangun di atas tanah negara, tapi hasilnya justru berpindah tangan menjadi SHM-SRS (Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun) yang bisa diwariskan, dijual, bahkan dijadikan instrumen investasi.
Solusi yang lebih adil adalah penggunaan SKBG (Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung). Dengan skema ini, tanah tetap milik negara, sementara bangunan dapat dimiliki masyarakat dengan hak terbatas. Tapi SKBG kini masih lemah secara hukum, perlu penguatan lewat revisi UU Rumah Susun agar menjadi alternatif kepemilikan yang sah, aman, dan bankable.
TOD Berkeadilan, Bukan Alat Penggusuran Halus
Jika konsep Transit Oriented Development (TOD) diusung, maka perlu dipastikan TOD ini benar-benar menyasar MBR, bukan menjadi magnet bagi spekulan yang mendorong dislokasi warga asli. Akses langsung ke transportasi publik, harga terjangkau, hingga tarif pengelolaan yang masuk akal—semua itu adalah indikator TOD yang berkeadilan.
Bukan rahasia, banyak proyek TOD menjelma jadi hunian mewah bertarif tinggi. Ini ancaman nyata bagi warga lokal yang tergeser karena kenaikan NJOP, iuran parkir mencekik, hingga iuran pengelolaan yang tak sepadan dengan daya beli.
Tata Kelola: Dari PPPSRS ke Manajemen Aset Profesional
Pengelolaan rusun tidak bisa lagi hanya diserahkan ke PPPSRS yang seringkali penuh konflik horizontal dan minim kapasitas. Diperlukan Asset Management khusus yang diberi mandat hukum untuk mengelola tanah dan bangunan milik negara, mengendalikan komersialisasi, serta menjaga fungsi sosial lahan secara berkelanjutan. Ini bukan hanya soal tata kelola, tapi menjaga roh konstitusional tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Saatnya Housing Code dan Etika Hunian Vertikal
Pemerintah perlu menerbitkan semacam Housing Code, kode etik tata kelola hunian vertikal yang meliputi standar teknis, sosial, hingga demokrasi pengambilan keputusan di PPPSRS. Tanpa regulasi ini, rusun-rusun bisa berubah menjadi hutan beton penuh konflik, alih-alih habitat sehat bagi masyarakat kota.
Tiga Pertanyaan Kritis
-
Di mana posisi pengembang lokal dalam proyek ini? Jika mereka hanya jadi penonton atau subkontraktor kecil, maka proyek ini kehilangan potensi untuk memperkuat industri domestik. Kolaborasi nyata harus diwujudkan: alih teknologi, distribusi pekerjaan, dan skema investasi yang adil.
-
Apakah proyek ini disinergikan dengan kebijakan dan aset pemda? Jangan sampai proyek ini eksklusif di Jakarta saja, melainkan juga harus hadir di wilayah prioritas seperti Mebidangro atau kawasan metropolitan lain.
-
Bisakah dana Qatar ini digulirkan menjadi Subsidi Produktif? Alih-alih satu kali bangun, mengapa tidak dijadikan model reinvestasi sosial? Subsidi Produktif bisa menjadi jawaban atas kelangkaan rumah murah di perkotaan.
Penutup: Dari Beton ke Senyum Rakyat
Dana Rp40 triliun bisa jadi anugerah, bisa pula petaka. Tanpa tata kelola yang adil dan arah kebijakan yang benar, ia hanya akan menambah lapisan beton di langit kota—bukan menghadirkan senyum di bumi rakyat.
Inilah momentum untuk membuktikan keberpihakan pemerintah pada rakyat. Kementerian PKP, BTN, pengembang, hingga Satgas Perumahan dan think-tank seperti The HUD Institute harus bersatu: merancang, mengawal, dan menjaga agar proyek ini menjadi tonggak sejarah, bukan batu nisan dari harapan perumahan rakyat.
Kepada Presiden Prabowo Subianto, inilah kesempatan besar untuk mencatatkan “housingnomics” sebagai jurus sosial-ekonomi unggulan di era pemerintahan beliau. Jika berhasil, pembangunan rumah rakyat ini bukan sekadar infrastruktur, tapi investasi peradaban. Dan rakyat pun bisa tersenyum—dari dalam rumahnya sendiri.
Tabik!