JAKARTA, JPI— Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) berencana merevisi Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023 tentang: batasan luas tanah, luas lantai, dan batasan harga jual rumah umum tapak dalam pelaksanaan kredit/pembiayaan perumahan FLPP, serta besaran subsidi bantuan uang muka perumahan. Salah satu yang akan diubah dalam beleid tersebut adalah soal pengurangan batas minimal luas rumah subsidi, baik bangunan maupun tanah menjadi ukuran 18/25 m2.
Menyikapi hal tersebut, Lembaga Pengkajian Perumahan dan Pengembangan Perkotaan Indonesia (LPP3I) atau lebih dikenal dengan nama The HUD Institute, sebagai wadah berhimpun dan rumah besar pemangku kepentingan Perumahan, Infrastruktur Dasar, Permukiman dan Perkotaan menyampaikan beberapa hal.
Pertama, The HUD Institute tidak keberatan terkait dengan luas bangunan minimal 18 m2, sebagai rumah inti tumbuh yang dapat diperluas ke samping, ke depan maupun ke atas, sesuai dengan kondisi ekonomi pemilik/penghuni.
“Yang kami sangat keberatan adalah luas tanah minimal 25 m2.. Hal itu karena bertentangan dengan prinsip rumah inti tumbuh dan perda bangunan atau perizinan di daerah. Serta akan memberatkan MBR untuk menambah luas bangunannya, karena bertentangan perda perizinan di daerah. Kecuali lokasi berada di kawasan perkotaan yang harga tanahnya sangat mahal, kepadatan penduduk yang tinggi, dan harus sesuai tata ruang,” ungkap Ketua Umum The HUD Institute, Zulfi Syarif Koto.
Hal tersebut lanjut Zulfi berkaitan dengan kewajiban negara untuk mensejahterakan rakyatnya melalui memenuhi kebutuhan tempat tinggal/hunian/rumah yang layak dan terjangkau sesuai sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat yang menjadi target (MBR). Sesuai amanat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, yaitu setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Kedua, fakta di lapangan sejak tahun 2010, ketika diluncurkannya program FLPP oleh Suharso Monoarfa selaku Menteri Perumahan Rakyat saat itu, maksud program FLPP lebih diarahkan untuk pembangunan rumah baru bagi MBR berupa rumah tunggal, rumah deret, dan rumah susun. Namun sampai saat ini, dari sekian juta orang yang telah memanfaatkan dana FLPP, untuk rumah susun (rusun) MBR, pemanfaatan dana FLPP, baru mencapai 1%.
“Jika yang dijadikan alasan revisi Permen adalah soal lahan,harga dan kedekatan dengan lokasi kerja bagi MBR di perkotaan, maka saatnya pemerintah lebih serius memikirkan hunian vertikal di perkotaan. Berikan pendampingan sesuai INPRES 5/1990, yang isinya instruksi kepada para menteri dan pejabat terkait untuk melaksanakan peremajaan pemukiman kumuh di daerah perkotaan terutama yang berada di atas tanah Negara di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Dalam hal pengembangan rusun MBR, pemerintah bisa memberikan insentif bagi pengembang untuk membangun rumah vertikal di wilayah perkotaan dengan skema subsidi bunga, insentif pajak, serta kemudahan izin. Serta mendorong model vertical housing—low rise - middle rise - high rise—agar lahan dapat dimanfaatkan secara efisien.
“Ke depan sudah saatnya juga dipikirkan subsidi FLPP kepemilikan rumah susun diperbesar porsinya,” tambah Zulfi
Ketiga, dalam mengambil kebijakan berkaitan dengan perumahan MBR Kementerian PKP sebaiknya juga memperhatikan Pasal 54 UU Nomor 1 Tahun 2011 yang memberikan kewajiban kepada negara/pemerintah untuk memberikan bantuan dan kemudahan bagi perumahan MBR (baik dari sisi supply dan demand).
Keempat, penyelenggaraan PKP bukanlah semata-mata kewajiban pemerintah pusat akan tetapi juga melibatkan Pemerintah Daerah, dunia usaha, ekosistem PKP dan masyarakat. Oleh karena itu, seluruh pemangku kepentingan tersebut sebaiknya diajak untuk merumuskan kebijakan ini.
Kelima, penting juga untuk mempertimbangkan prospek pengembangan kebijakan perumahan dalam kerangka pembangunan perkotaan yang berkelanjutan dan inklusif, guna memenuhi kebutuhan perumahan MBR secara lebih komprehensif.
Selain itu, lanjut Zulfi, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, Keputusan Menteri (Kepmen) tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum untuk bisa membatalkan peraturan daerah.
“Karena itu, kami mengusulkan agar perubahan terhadap Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023 diubah menjadi Peraturan Presiden, agar memiliki kekuatan hukum untuk membatalkan peraturan perizinan bangunan di daerah secara komprehensif. Hal itu dilakukan karena ada beberapa undang-undang yang harus diubah untuk membuat peraturan perizinan bangunan di daerah meliputi UU Cipta Kerja, UU Bangunan Gedung, UU Penataan Ruang, dan UU Lingkungan Hidup,” pungkasnya.