JAKARTA, JPI - Guna menjawab keterbatasan lahan dan kenaikan harga tanah di kota-kota besar, Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) sedang mempersiapkan kebijakan baru berupa rumah subsidi minimalis. Kebijakan ini tidak menggantikan skema rumah subsidi yang sudah ada, melainkan memperluas opsi hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang membutuhkan lokasi dekat pusat ekonomi dan layanan publik.
Pada 11 Juni 2025, Kementerian Keuangan menjadi tuan rumah rapat konsultasi publik yang mempertemukan asosiasi pengembang, lembaga pembiayaan, dan instansi pemerintah untuk menyerap masukan terhadap rancangan regulasi. Revisi tersebut akan dituangkan dalam penyempurnaan Keputusan Menteri PUPR No. 689/KPTS/M/2023, yang mengatur ulang batas minimal luas lahan dan bangunan bagi rumah subsidi.
Rancangannya menetapkan bangunan inti seluas 18 m² di atas lahan 25–30 m², ditujukan terutama bagi MBR yang masih lajang atau berkeluarga kecil. Meski mungil, desainnya tetap menyesuaikan SNI 03-1733-2004—yakni kebutuhan ruang 6,4–9 m² per jiwa—dan pedoman Rs Sehat menurut Kepmen Kimpraswil No. 403/2002.
“Rumah subsidi minimalis adalah terobosan agar MBR dapat tinggal di lokasi strategis, dekat tempat kerja, dan pusat layanan,” kata Sri Haryati, Direktur Jenderal Perumahan dan Perkotaan PKP. Ia menambahkan, tata kelola kebijakan akan diperkuat agar program pembiayaan benar-benar bermanfaat: “Kami ingin akses hunian disertai peningkatan kualitas hidup.”
Sri Haryati menekankan bahwa kebijakan ini memberi kebebasan memilih: rumah subsidi standar di pinggiran kota atau rumah subsidi minimalis lebih dekat pusat aktivitas. Pendekatan ganda itu diharapkan mempercepat, memerata, dan memrealistiskan pemenuhan hunian layak.
Dorongan kebijakan ini tak lepas dari backlog kepemilikan rumah yang masih 9,9 juta unit—sekitar 80 persennya di perkotaan—serta permintaan tinggi dari generasi muda untuk tinggal di pusat kota meski harga lahan kian melonjak.
Dalam rapat, asosiasi pengembang—APERSI, HIMPERA, APPERNAS JAYA—mayoritas mendukung tipe 18/30 untuk kawasan metropolitan, namun menilai tipe 18/25 terlalu sempit dan berisiko tak memenuhi standar kelayakan. Mereka juga mengkhawatirkan potensi gugatan hukum bila kualitas hunian dianggap melanggar prinsip konstitusi.
Di sisi pembiayaan, Komisioner BP Tapera, Heru Pudyo Nugroho, menilai tipe 18/30 sudah memadai secara teknis, namun mengingatkan pentingnya ruang tumbuh:
“Idealnya luas tanah minimal 30 m² agar sejalan dengan PP 12/2021 dan PMK 60/2023.”
Ia juga mengapresiasi proses regulasi yang inklusif dan menilai skema rumah mungil di lokasi strategis cocok bagi MBR, khususnya generasi muda pembeli rumah pertama.
Real Estate Indonesia (REI) menyoroti perlunya menjaga kualitas pencahayaan, ventilasi, dan dampak sosial lingkungan, serta mendorong pemerintah mengkaji disparitas harga jual antarwilayah demi mencegah ketimpangan.
Lewat inovasi ini, pemerintah berharap target hunian layak bagi MBR tercapai lebih cepat dan adil, tanpa mengorbankan standar minimum kualitas bangunan