"Kota ini kayak punya dua langit, Bang... Satu buat orang gedongan, satu lagi buat kite orang kampung."
Kalimat itu terlontar dari Bang Lahmudin, warga asli Slipi, ketika saya menyapanya di ujung gang senggol, tak jauh dari realestat mewah berpagar tinggi di kawasan Senayan. Hari-harinya kini dihabiskan di situ, menunggu orderan ojek online.
Hari ini Jakarta genap berusia 498 tahun. Nyaris lima abad, sebuah usia panjang bagi kota yang tak pernah berhenti berubah. Kota yang menjadi panggung sejarah, tempat bertemunya ribuan budaya, juga medan tarik-menarik antara mimpi besar pembangunan dan suara-suara kecil warga yang kerap tak terdengar.
Pulau-pulau moleknya tetap “seribu” — jangan dipindahkan, Bang! Jakarta adalah rumah, bukan sekadar ibukota atau titik koordinat.
Usai upacara HUT Jakarta, Gubernur Pramono Anung berujar:
"Saya dan Bang Doel akan melanjutkan membangun Jakarta dengan partisipatif dari masyarakat — apa yang menjadi keinginan, kemauan, dan persoalan mereka."
Ucapan itu menyiratkan kesadaran: bahwa Jakarta bukan hanya tumbuh menjulang, tapi juga terbelah — dalam rupa, ritme, dan relasi sosial ekonomi antarwarganya. Kontras itu mencolok, bahkan dalam radius 100 meter:
di satu sisi mal mengilap dan jalur sepeda mulus;
di sisi lain jalan kampung becek dan atap seng berkarat.
Ada apartemen dengan lift kaca, tapi juga rumah petak bertumpuk di atas saluran air.
Dua sistem dalam satu kota — begitu para pakar tata ruang menyebutnya. Sistem yang tak saling sapa, bahkan kerap saling singkir. Bukan sekadar jurang kaya dan miskin, tapi juga ekosistem ekonomi dan spasial yang berjalan sendiri-sendiri.
Contoh kasat mata: karyawan pencakar langit makan siang di warung tenda, lalu pulang naik ojek online sambil membawa gorengan. Jakarta ramai saat hari kerja, lalu lengang ketika Lebaran. Kota ini hidup dalam siklus yang tak pernah sepenuhnya utuh — antara ekonomi formal dan informal, gedung tinggi dan gang sempit, pengembang raksasa dan warga kecil pewaris tanah kampung.
Jakarta hari ini berdiri di antara gentrifikasi dan keberlanjutan. Bangunan komersial menjulang, kampung rakyat pelan-pelan tergusur. Dalam nama “modernisasi”, warga asli kehilangan tempat pulang.
"Kampung kite digusur, diganti taman yang enggak bisa kite dudukin," keluh Mpok Lela, warga Pasar Rumput sejak 1974.
Namun tak semuanya suram. Ada Kampung Akuarium — bukti bahwa kota bisa ditata adil dan berkelanjutan. Bukan hanya dibangun ulang, tapi juga diperjuangkan bersama warganya. Kini, kawasan itu menjadi ikon konsolidasi komunitas dan perumahan rakyat yang mendapatkan penghargaan inovasi (2023), bahkan dianggap bagian dari reforma agraria perkotaan.
Di sisi lain, muncul wacana kontroversial: rumah tapak 18 m² di atas tanah 25 m² untuk MBR (masyarakat berpenghasilan rendah). Solusi atau sekadar statistik? Karena rumah bukan hanya tentang luas, tapi tentang harga diri dan ruang tumbuh. Bukan pula Rumah Inti Tumbuh yang dulu digagas Menpera Cosmas Batubara.
Solusi: Menyulam Kembali Kota yang Terbelah
Menyatukan Jakarta bukan soal betonisasi semata. Kota tak bisa disulap jadi “Instagramable” dengan mural dan taman saja. Kita butuh integrasi urban yang berkeadilan dan memberdayakan:
-
Ekosistem Perumahan Rakyat Terpadu
Libatkan pengembang, BUMN, dan komunitas dalam satu sinergi — agar perumahan rakyat tidak tercerai-berai oleh logika pasar. -
Revitalisasi Kampung, Bukan Penghapusan
Kampung urban adalah identitas kota. Rawat dan berdayakan, jangan digantikan. -
Satukan Dunia Formal dan Informal
Pedagang kaki lima, tukang bangunan, ojol — harus masuk dalam kebijakan kota: di RPJMD, di APBD, bahkan di forum-forum perencanaan.
TOD (Transit Oriented Development) jangan menjadi mesin pengusiran warga informal, tapi ruang kerja mereka juga.
Epilog: Jakarta, Jangan Lupa Wajah Sendiri
Di ulang tahunnya yang ke-498, Jakarta dihadapkan pada pilihan sejarah:
Menjadi kota dunia yang tercerabut dari rakyatnya?
Atau kota beradab yang memeluk semua warganya?
"Gue enggak minta banyak, Bang… asal kampung kite jangan ilang. Biar anak gue bisa tahu asalnya," kata Bang Lahmudin, sebelum pamit.
Kata Bang Lahmudin mewakili rasa yang tulus. Dan The HUD Institute menyambutnya begini:
"Jakarta sebagai kota global harus menjamin keadilan spasial bagi seluruh warganya. Rumah layak, sehat, dan produktif bukanlah kemewahan — melainkan hak dasar. Kita butuh perumahan sejoli: yang menyatukan aspek sosial dan ekologis dalam satu tatanan perkotaan yang manusiawi."
— Zulfi Syarif Koto, Ketua Umum The HUD Institute, dalam refleksi HUT Jakarta.
Jakarta boleh punya satu nama yang mendunia, tapi wajahnya banyak.
Jangan biarkan sebagian wajahnya hilang dalam pembangunan yang lupa daratan.
Karena kota yang tak memeluk semua warganya,
bukan kota — melainkan sandiwara besar.
Salam Satu Kota. Tabik.
(Bang Muhammad Joni, warga Jakarta, mantu Betawi, pemerhati kebijakan kota dan perumahan)