Tiap hari saya suka sarapan "rumah". Membaca langkah terobosan bergizi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Menkeu Purbaya, baru-baru ini mengguncang pasar perumahan.
Katanya, permintaan rumah melemah, penyerapan kredit BTN rendah, dan minat pembelian rumah masyarakat kian lesu. Sebuah alarm dari Menkeu yang Chief of Financial Officer, maka sahih menjaga bergeraknya fiskal.
Alarm itu bukan hanya bagi sektor keuangan, tapi juga bagi logika konstitusional ekosistem wewenang dan tata kelola teknis penyediaan perumahan rakyat di negeri ini. Yang dikenal dengan perumahan MBR (masyarakat berpenghasilan rendah).
Cermati lah lagi ujaran khas Menkeu Purbaya, dengan gaya bicara yang tenang tapi tajam ke ekosiatem, yang seolah sedang membongkar lemari tua kebijakan perumahan MBR di Indonesia.
Di dalamnya tersimpan debu bernama Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tepatnya Huruf D, yang mengatur pembagian urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman.
Dan di sinilah keajaiban hukum itu bermula.
Ajaibnya urusan konkuren yang tidak konkuren. Pasal 12 ayat (1) huruf d UU Pemda dengan tegas menyebut Urusan pemerintahan konkuren wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar meliputi perumahan rakyat dan kawasan permukiman. Bersamaan dengan pendidikan dan kesehatan. Artinya, perumahan rakyat a.k.a MBR adalah urusan bersama (konkuren) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Namun, dalam lampiran UU Pemda huruf D yang menjadi jantung pembagian kewenangan itu, urusan konkuren perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) raib hanya tercantum sebagai urusan pemerintah pusat.
Lihatlah tabelnya berikut ini.
Pemerintah pusat: Penyediaan rumah bagi MBR. Pemerintah provinsi: Tidak ada tugas perumahan MBR. Pemerintah kabupaten/kota: Tidak ada tugas perumahan MBR.
Keganjilan itu bukan sekadar teknis administratif — tapi ini anomali juridis konstitusional karena inkonsistensi dalam UU Pemda. Urusan perumahan rakyat dan kawasan permukiman yang seharusnya menjadi konkuren pusat dan derah, kini justru dimonopoli pusat. Yang mengerdilkan otonomi daerah dan membekukan kreativitas kebijakan lokal.
Ketika Pemerintah pusat terlalu pusat maka akibatnya, pemerintah daerah hanya menjadi penonton kebijakan di tepi sektor perumahan rakyat cq MBR. Mereka hanya menjalankan beban urusan perizinan, menerbitkan SKBG (sertifikat kepemilikan bangunan gedung), atau menangani rehabilitasi rumah korban bencana.
Sementara rakyat daerah cq MBR di pelosok—buruh pabrik di Subang, nelayan di Pangkep, petani di Lumajang—tidak punya skema perumahan daerah. Mereka menunggu belas kasih kebijakan pusat yang lambat turun, seperti hujan di musim kemarau.
Ketika bank menjerit kredit macet rendah bukan karena buruknya debitur, tapi karena permintaan rumah memang mati suri, sesungguhnya akar masalahnya ada di hulu hukum.
Kebijakan yang tersentralisasi membuat policy supply tidak bertemu market demand daerah. Bank penyakur KPR bekerja di ruang udara yang disumbat, bukan pasar yang bernafas.
Perluasan Aktor: Desentralisasi untuk Keadilan Hunian
Sudah saatnya urusan perumahan MBR menjadi urusan konkuren yang nyata, bukan formalitas dalam pasal UU Pemda. Tapi disingkirkan ulah Lampiran sang pembuat UU.
Pemda pasti bisa menyusun skema dan program penyediaan perumahan MBR sendiri: dari subsidi bunga daerah, penyediaan lahan, kemitraan dengan pengembang lokal, hingga integrasi dengan Kredit Usaha Rakyat (KUR) Perumahan.
Bayangkan, jika provinsi seperti Jawa Tengah atau Sulawesi Selatan memiliki bank perumahan daerah yang menyalurkan kredit mikro hunian MBR, atau kabupaten/kota memiliki program Rusun Swadaya berbasis komunitas dengan skema padat karya.
Maka MBR tidak lagi menunggu keputusan pusat cq. Jakarta. Mereka membangun mimpinya dari tanah dan uangnya sendiri.
Jika hendak menggerakkan mesin penyediaan perumahan rakyat di daerah, Pasal 12 ayat (1) UU Pemda perlu direvisi, atau jika tidak, diajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Sebab, Lampiran Huruf D itu telah mendegradasi prinsip otonomi daerah dan melanggar semangat Pasal 18 UUD 1945 yang menjamin pembagian kewenangan pemerintahan secara berjenjang dan adil.
Jika pendidikan dan kesehatan bisa menjadi urusan konkuren lintas level, mengapa perumahan rakyat—kebutuhan dasar manusia—tidak?
Bukankah rumah adalah bagian dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana janji sila kelima Pancasila?
Epilog
Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya bukan sekadar soal angka kredit BTN atau grafik permintaan rumah yang menurun. Itu adalah sinyal ekonomi dari jantung kebijakan yang tersumbat hukum.
Sebuah ajakan diam-diam agar bangsa ini meninjau ulang cara berpikir tentang “siapa yang berhak membangun rumah rakyat”.
Selama perumahan MBR dianggap hanya urusan pusat, maka rakyat kecil tetap tinggal di rumah harapan, bukan rumah nyata.
Sudah waktunya kebijakan turun ke bumi—ke desa, ke kabupaten, ke provinsi—karena rumah sejati rakyat Indonesia tak akan pernah bisa dibangun dari langit kekuasaan pusat semata.
Tabik.
Muhammad Joni SH.MH
